Oktober 7, 2024

SUARAPALU.COM

Periksa halaman ini untuk berita utama terkini Indonesia, analisis, laporan khusus dari pusat kota besar termasuk Jakarta, Surabaya, Medan & Bekasi.

‘Aplikasi super’ Indonesia: Apakah itu pemborosan statistik…

‘Aplikasi super’ Indonesia: Apakah itu pemborosan statistik…

(MENAFN-Percakapan)

Rencana Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Indonesia untuk menggabungkan sekitar 24.000 aplikasi pemerintah menjadi hanya delapan aplikasi, yang mereka sebut ‘Super Apps’, patut dicermati.

Hingga saat ini, pemerintah telah mengembangkan puluhan ribu aplikasi berbasis digital yang terbukti tidak efektif dalam meningkatkan dan mendukung pelayanan publik.

Peluncuran berbagai aplikasi pemerintah sejauh ini hanya dalam skala prioritas, seiring dengan terus berkembangnya teknologi baru, tanpa menjamin kualitas layanan akses.

Rencana untuk mengkonsolidasikan aplikasi saat ini menjadi hanya delapan bahkan tidak didasarkan pada bukti yang jelas. Pemerintah bersama masyarakat pengguna harus memastikan penggabungan ini tidak menimbulkan masalah baru, baik dari segi teknis maupun dari segi penyelenggaraan pelayanan publik.

Fokus pemerintah yang salah tempat pada digitalisasi

Menteri Keuangan Shri Mulyani Indravati baru-baru ini mengeluh bahwa menghasilkan ribuan aplikasi pemerintah adalah buang-buang uang. Aplikasi dikembangkan tanpa mempertimbangkan kebutuhan pelayanan publik dan keterpaduan seluruh unit organisasi di pemerintahan.

Sebuah aplikasi bernama ‘Sentuh Tanahku’ yang dikembangkan oleh Kementerian Pertanian dan Tata Ruang (BPN) memiliki peringkat rendah hanya 3,4 dari 5 dari sekitar 18.200 ulasan di Google Play Store. Meski telah diunduh lebih dari satu juta kali, banyak penggunanya yang menyampaikan keluhan karena kesalahan dan kegagalan dalam pengiriman data.

Kemudian, aplikasi penanganan pengaduan ‘Karyawan!’ (Laporan!), yang pada awalnya dikelola oleh Satuan Tugas Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Di bawah pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, pengelolaannya dipercayakan kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB). Namun kini aplikasi ini tidak seefektif dalam menyelesaikan pengaduan terkait birokrasi dan pelayanan publik seperti pada era SBY.

Ribuan aplikasi pemerintah yang ada kini memberi kesan bahwa setiap organisasi berlomba-lomba membangun aplikasi digitalnya sendiri dan menciptakan ekosistem digital baru – yang belum tentu demikian. Tampaknya pemerintah hanya ingin dilihat sebagai ‘tech-savvy’.

READ  Indonesia akan menetapkan standar fesyen sederhana global, kata pejabat kementerian luar negeri

Dorongan teknologi tumbuh setelah Jokowi mengeluarkan arahan presiden pada Agustus 2020 tentang lima arah untuk mempercepat transformasi digital. Kelima arah tersebut adalah perluasan akses, road map digitalisasi sektor strategis, integrasi data, kesiapan SDM dan skema pendanaan.

Kominfo kemudian memasukkan arahan tersebut dalam enam arah Digital National Roadmap 2021-2024.

Sayangnya, selama ini kebijakan transformasi digital Indonesia – termasuk arahan presiden dan roadmap Kominfo – hanya bersifat ‘transformasi instrumental’. Transformasi instrumental adalah perubahan bentuk tata kelola, pengelolaan informasi dan pelayanan publik yang telah go digital. Singkatnya, pemerintah melakukan kegiatan pelayanan publik, tetapi dengan cara yang berbeda, yaitu dari konvensional ke digital.

Menjamurnya puluhan ribu aplikasi pemerintah merupakan bentuk perubahan instrumental karena hanya berfokus pada pembangunan infrastruktur — bukan orang-orang yang mungkin atau mungkin tidak ingin menyadari manfaat perubahan.

Kami belum melihat ‘perubahan sistematis’ yang berfokus pada aspek kualitatif hubungan antara pembuat kebijakan dan publik. Kegiatan yang diperlukan untuk perubahan sistemik dapat berupa, misalnya, forum aspirasi publik yang difasilitasi oleh media digital atau keterlibatan publik dalam membentuk kebijakan dan layanan. Ini tidak bisa ditemukan.

Ini bukan kali pertama pemerintah menerapkan kebijakan digitalisasi yang tidak mengutamakan masyarakat. Pada masa jabatan pertamanya, Jokowi menginstruksikan semua instansi pemerintah di semua tingkatan untuk menggunakan media komunikasi digital seperti media sosial secara inovatif dan meninggalkan cara komunikasi publik yang lama.

Namun, kajian penulis pertama tentang model komunikasi pemerintah di media sosial mengungkapkan bahwa mereka hanya menggunakan teknologi komunikasi untuk menciptakan citra yang baik dan menyebarkan informasi.

Fokus pada konten dan perlindungan data pribadi

Tujuan utama transformasi ekosistem digital dalam tata kelola seharusnya adalah untuk memberikan layanan publik yang lebih baik.

READ  Ibu tunggal Indonesia memenangkan kompetisi binaraga

Jadi, aplikasi super, atau apa pun sebutannya, seharusnya tidak hanya menyediakan fitur untuk menyampaikan keluhan – yang seringkali tidak ditindaklanjuti – tetapi menghadirkan ruang interaktif bagi publik untuk memberikan masukan, terlibat dalam pengambilan kebijakan. Berpartisipasi dalam, dan mengawasi implementasi kebijakan.

Berikut tiga poin penting yang harus diperhatikan pemerintah sebelum membuat delapan aplikasi super:

Termasuk: Pemerintah harus memastikan bahwa aplikasi itu inklusif. Artinya, semua individu, tanpa kecuali, termasuk penyandang disabilitas, harus memiliki akses ke teknologi dan layanan publik.

Terintegrasi: Jika pembuatan SuperApps bertujuan untuk mengintegrasikan semua jenis layanan publik di tingkat pemerintah daerah, pemerintah pusat harus memastikan bahwa program tersebut diselaraskan dengan setiap peraturan daerah, terutama dalam hal layanan teknis.

Perlindungan privasi: Yang paling penting adalah tentang privasi data. Pemerintah harus menjamin keamanan informasi pribadi, data, pesan dan dokumen yang dikirimkan melalui Internet. Penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa semua informasi pribadi tidak bocor ke tangan pihak ketiga – yaitu perusahaan atau individu yang tidak berhak atasnya.

Sampai saat ini, semua aplikasi pemerintah gagal melindungi data pengguna, padahal itu adalah salah satu hak dasar setiap warga negara dan dijamin dalam Pasal 12 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR).

Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR), peraturan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa tentang privasi dan perlindungan data, menjadikan privasi data sebagai bagian dari hak asasi manusia yang mendasar. Peraturan tersebut memprioritaskan individu sebagai pemilik data, mengontrol penggunaan dan penyimpanan data mereka. Di Amerika Serikat (AS), ini diatur di bawah Undang-Undang Privasi Konsumen California (CCPA).

Saat ini, praktik perlindungan data pribadi di Eropa dan AS menggunakan pendekatan ‘opt-in’ dan ‘opt-out’ untuk memberikan dan meminta persetujuan. Pemilik Data mungkin atau mungkin tidak memberikan persetujuan terkait akses ke Layanan Teknis atau Situs.

READ  'Nasib kami tidak jelas': Pria Indonesia yang membayar deposit £1.000 untuk pekerjaan pertanian di Inggris | Imigrasi dan Suaka

Keikutsertaan adalah proses di mana pengguna memilih apakah akan memproses lebih lanjut data pribadi mereka atau tidak. Penyedia layanan tidak dapat mengumpulkan dan memproses data pribadi pengguna tanpa persetujuan mereka.

Penyisihan adalah tindakan yang dapat dilakukan pengguna untuk menghentikan penyedia layanan teknologi digital mengumpulkan dan memproses data pribadi mereka.

Ini berarti bahwa pengguna Internet dapat memberikan penyedia layanan akses ke data pribadi mereka kapan saja, oleh siapa saja, untuk mengambilnya untuk berbagai tujuan, untuk memproses atau menggunakannya secara bebas sampai pengguna menghentikan akses.

Aplikasi PeduliLindung adalah contoh aplikasi yang tidak melindungi data pribadi penggunanya. Aplikasi ini tidak hanya meminta data lokasi pengguna secara real-time, tetapi juga data pribadi lainnya seperti Nomor Induk Kependudukan (NIK), foto Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan data lain yang tidak terlalu terkait dengan COVID-19. 19 Sistem Pelacakan dan Pelacakan Kontak.

Pengguna harus diberikan pilihan untuk memberikan persetujuan sebelum data mereka diakses, digunakan, dan disimpan, bahkan jika itu untuk kepentingan layanan publik. Praktik semacam itu adalah contoh nyata dari pemerintah yang acuh tak acuh dan tidak menghormati privasi individu.

Kami menggarisbawahi bahwa penyediaan layanan publik digital dan munculnya aplikasi tidak boleh hanya terfokus pada ‘merayakan’ masyarakat teknologi baru. Digitalisasi harus dilandasi dengan semangat yang memungkinkan masyarakat memiliki jaminan akses terhadap layanan yang inklusif, seimbang, dan non-diskriminatif.

Artikel ini awalnya diterbitkan dalam bahasa Indonesia

MENAFN19082022000199003603ID1104724545