Di dunia yang saling terhubung saat ini, empati tampaknya semakin langka. Statistik memberikan gambaran. Di Indonesia, sebuah studi pada tahun 2023 yang dilakukan oleh Universitas Katja Mada yang berbasis di Yogyakarta mengungkapkan meningkatnya prasangka antarkelompok, khususnya di kalangan anak muda.
Demikian pula, laporan Runny-Med Foundation dari Inggris pada tahun 2022 menyoroti kesenjangan rasial yang terus-menerus terjadi karena kurangnya pemahaman dan empati.
Tantangannya jelas: menjembatani kesenjangan dengan pihak-pihak yang tampak berbeda. Dampak-dampak ini tersebar luas, memicu polarisasi sosial, menghambat dialog yang bermakna, dan menghambat kemampuan kita untuk mengatasi tantangan global yang kompleks yang memerlukan solusi kolektif.
Baik dalam upaya mengatasi perubahan iklim atau kesenjangan ekonomi, kurangnya empati dapat memperburuk masalah yang ada dan menghalangi orang untuk bekerja sama demi masa depan yang lebih baik.
Lalu, dimana solusinya? Meskipun teknologi menyediakan koneksi, empati sejati membutuhkan lebih dari sekadar koneksi digital. Hal ini menuntut partisipasi aktif, keterbukaan hati, dan kemauan untuk keluar dari zona nyaman.
Di sinilah kekuatan transformatif dari kolaborasi lintas budaya berperan.
Terlibat dalam upaya seni kolaboratif yang melampaui hambatan budaya dan geografis memungkinkan individu untuk mengembangkan empati yang lebih dalam, menghilangkan stereotip, membangun jembatan pemahaman, dan membuka jalan menuju dunia yang lebih penuh kasih, terhubung, damai, dan sejahtera.
Sepanjang sejarah, seni telah mendorong empati dan memupuk pemahaman lintas budaya dan generasi.
Seniman menggunakan seni sebagai platform untuk mengadvokasi perdamaian yang bergema di seluruh wilayah geografis dan waktu. Demikian pula simfoni Beethoven menyatukan hati meski ada perbedaan bahasa, menciptakan bahasa universal suka dan duka.
Ini hanyalah dua contoh yang menggarisbawahi kemampuan seni untuk menciptakan hubungan yang mendalam. Saat ini, warisan abadi dalam memupuk empati tumbuh subur dalam proyek seni kolaboratif di mana beragam suara dan perspektif saling terkait.
Misalnya saja The School of Hope di Indonesia, yang menyediakan platform bagi generasi muda dari berbagai latar belakang untuk mengeksplorasi empati melalui karya seni, menantang stereotip, dan membina hubungan melalui kreativitas bersama. Demikian pula dengan Care Crisis, sebuah kolaborasi teater digital antara Inggris dan Indonesia, yang membahas masalah kompleks populasi menua, menantang penonton global untuk merenungkan tantangan global bersama dengan pandangan empati.
Terletak di lanskap budaya Yogyakarta yang dinamis, School of Hope memulai perjalanan transformatif yang mempertemukan generasi muda dari komunitas tunarungu, santri pesantren, dan latar belakang marginal lainnya. Proyek unik ini, dipimpin oleh PSBK (Indonesia) dan The Paper Birds (UK), dan didukung oleh British Council melalui Cultural Grants, mengadopsi seni sebagai katalis untuk mengeksplorasi empati, tidak hanya sebagai emosi, namun sebagai konsep multifaset. dari individu. dan implikasi sosial.
Melalui serangkaian terstruktur “5 Pelajaran”, lokakarya ini secara ahli memadukan jalur kognitif, intuitif, dan kreatif. Latihan interaktif seperti “pemetaan empati” menantang peserta untuk berempati dengan sudut pandang orang lain, sementara pembuatan seni kolaboratif memberikan ruang yang aman untuk ekspresi diri dan berbagi pengalaman.
Seorang peserta muda tunarungu menggambarkan bagaimana program ini tidak hanya meningkatkan keterampilan komunikasi mereka, namun juga memperdalam pemahaman mereka tentang emosi orang lain, secara efektif meruntuhkan hambatan dan membangun jembatan empati dari berbagai latar belakang.
Kesaksian para peserta menyoroti bagaimana seni melampaui perbedaan bahasa dan budaya, membina hubungan yang tulus dan rasa kemanusiaan yang sama di antara orang-orang yang mungkin tidak akan berinteraksi.
Care Crisis merupakan bukti kemampuan transformatif teater digital dalam memicu percakapan global mengenai isu-isu kompleks.
Proyek inovatif ini mempertemukan perusahaan teater Ju Ko (Inggris) dan Sagatoya (Indonesia) untuk mengeksplorasi tantangan yang saling berhubungan dari populasi menua dan dampaknya terhadap kelestarian lingkungan dan kebutuhan jaminan sosial.
Pertunjukan langsung di setiap negara terjalin secara mulus dengan latar belakang video yang telah direkam sebelumnya, menciptakan pengalaman hybrid yang menawan. Para pemeran bergulat dengan isu-isu mendesak ini, perspektif budaya mereka yang beragam memperkaya cerita dan memancing refleksi penonton.
Seorang pengulas berkomentar bahwa Care Crisis lebih dari sekedar hiburan, memaksa pemirsa untuk “mempertimbangkan masa depan yang kita ciptakan bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi untuk generasi yang akan datang.”
Kolaborasi digital ini menggambarkan bagaimana seni melampaui batas-batas fisik, menumbuhkan empati terhadap tantangan global bersama, dan menginspirasi tindakan kolektif melalui penyampaian cerita yang kreatif.
Meskipun potensi kolaborasi seni lintas budaya tidak dapat disangkal, masih terdapat hambatan, termasuk kendala bahasa, kepekaan budaya, dan keterbatasan finansial. Namun, perencanaan proaktif, pelatihan kesadaran budaya, pemecahan masalah secara kolaboratif, dan komitmen individu dan organisasi yang berkepentingan dapat mengatasi tantangan ini.
Struktur kemanusiaan sangatlah rumit dan indah, terjalin dari benang-benang yang tak terhitung jumlahnya dari berbagai budaya dan perspektif. Menumbuhkan empati, pengertian, dan kerja sama adalah kunci untuk menciptakan dunia yang adil dan penuh kasih.
Mari kita sukseskan upaya seni lintas budaya, menjembatani perbedaan dan menstimulasi percakapan yang bermakna. Melalui kekuatan seni yang transformatif, kita dapat berbagi empati, satu sapuan kuas, satu melodi, satu pengalaman bersama, merayakan perbedaan dan membuka jalan bagi masa depan yang lebih cerah bagi semua.
Kanvas sudah siap, cat sudah menunggu. Bergandengan tangan, berbagi cerita, dan biarkan seni memicu percikan empati.
Dukung kolaborasi, berpartisipasi dalam lokakarya, dan bertindak sebagai agen pemahaman.
Bersama-sama, kita dapat membayangkan sebuah dunia di mana empati membimbing kita menuju masa depan di mana perbedaan diterima, tidak ada rasa takut, dan dijalin dengan kasih sayang. – Jaringan Berita Jakarta Post/Asia
Samar Chia adalah Country Director untuk Indonesia dan Ketua Asia Tenggara di British Council.
More Stories
Beberapa hari setelah penangkapan kritikus Widodo, rezim presiden Indonesia
Keluarga miliarder Indonesia dituduh mengendalikan kelompok 'perusahaan bayangan' terkait deforestasi besar-besaran
Indonesia juga harus memulangkan artefak budaya