Aktivis hak asasi manusia di Indonesia mengecam tindakan pemberian kompensasi kepada keluarga korban penghilangan paksa sebagai upaya untuk membersihkan citra buruk purnawirawan jenderal angkatan darat dan presiden terpilih Prabowo Subianto.
19 Agustus 2024
Presiden Indonesia Joko Widodo (kiri) berbicara dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kanan) sebelum upacara pembukaan Rumah Sakit Pusat Pertahanan Negara di Jakarta, dalam foto 19 Februari 2024 ini. (Foto: AFP)
Jakarta: Indonesia Aktivis hak asasi manusia mengkritik langkah pemberian pembayaran kepada keluarga orang yang dihilangkan secara paksa sebagai sebuah taktik untuk membersihkan citra buruk Prabowo Subianto, seorang pensiunan jenderal angkatan darat dan presiden terpilih.
Asosiasi Keluarga Orang Hilang (IKOHI), yang memperjuangkan keadilan bagi mereka yang dihilangkan secara paksa selama tindakan keras tahun 1997-1998 ketika Subianto masih menjadi jenderal tertinggi Angkatan Darat, menggambarkan tindakan tersebut sebagai “politik transaksional”.
Dalam konferensi pers pada 15 Agustus, asosiasi tersebut mengatakan pihak Subianto berusaha menenangkan keluarga korban dengan menuntut tindakan hukum terhadapnya.
“Bagi IKOHI, cara-cara seperti itu tidak etis dan tidak lebih dari upaya jangka pendek otoritas negara untuk mengatasi dampak ekonomi dan kelelahan fisik keluarga korban dalam mencari keadilan yang belum ditegakkan,” kata Zaenal Muttaqien. Sekretaris Jenderal Komite Eksekutif Asosiasi mengatakan saat konferensi pers.
Reaksi ini muncul setelah laporan media mengatakan pimpinan Partai Gerakan Indonesia Raya (Jerindra) yang merupakan partai nasionalis pimpinan Subianto berencana membayar satu miliar rupiah (US$63.711) masing-masing kepada keluarga 14 orang yang hilang.
Keputusan itu kabarnya diambil dalam rapat partai yang digelar di sebuah hotel di ibu kota Jakarta Diadakan pada tanggal 1-3 Agustus.
Beberapa keluarga dikatakan telah menerima uang tersebut, sementara yang lain menolak tawaran tersebut.
Meskipun salah satu perwakilan korban menghadiri pertemuan tersebut dan mendukung rencana tersebut, sebagian besar tidak mendukung tindakan tersebut, kata Muthakian.
Misalnya, Fajar Mera, anak Viji Tukul yang hilang, menolak uang tersebut. Namun, anggota keluarganya yang lain dikabarkan setuju untuk menerima tawaran tersebut.
Adik laki-laki Viji Tukule, Wahyu Susilo, mengatakan pertemuan itu “tidak mewakili seluruh keluarga aktivis yang hilang”.
“Sampai saat ini kami terus menuntut akuntabilitas dari pemerintah, termasuk kepada Prabowo Subianto,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan bahwa membayar keluarga korban tidak dapat dijadikan alasan untuk menutupi tugas pemerintah untuk mengadili dan menghukum pelaku kejahatan dan terus mencari kebenaran. Nasib Orang Hilang.”
Ia mengatakan keluarga orang-orang yang hilang mempunyai hak atas keadilan, kebenaran, restitusi dan jaminan bahwa pelanggaran hak asasi manusia seperti itu tidak terulang kembali.
“Selama nasib dan keberadaan orang hilang belum diketahui dengan jelas, kejahatan berdasarkan hukum internasional akan terus berlanjut,” kata Hameed.
Boyan Siyahan, ayah dari Ugok Siyahan, seorang aktivis yang hilang pada tahun 1998, mengaku menerima uang tersebut dan menyebutnya sebagai “sumbangan belas kasih”.
“Pak Prabowo mungkin memandang orang ini dengan kasihan, dia sudah berjuang lama, 25 tahun, ada juga yang sudah rentan, sakit,” ujarnya.
Namun dia mengatakan keluarga tersebut tidak setuju untuk berhenti menuntut keadilan.
Setidaknya 23 pembangkang dan aktivis diculik pada tahun 1997-1998, menurut kelompok hak asasi manusia, selama tindakan keras di bawah kediktatoran militer Suharto. Sembilan dari mereka kemudian dibebaskan, satu ditemukan tewas dan 13 orang hilang.
Menantu Soeharto, Subianto, dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat selama tindakan keras tersebut. Dia keluar dari militer pada tahun 1998, setelah itu pemerintah AS melarang dia memasuki negara tersebut.
Pada tahun 1999, pengadilan militer menghukum 11 anggota satuan tentara karena menculik sembilan aktivis.
Subianto, yang mengaku memerintahkan penculikan tersebut, tidak pernah diadili secara perdata.
Pada tahun 2009, Parlemen merekomendasikan pembentukan pengadilan ad hoc untuk menyelidiki lebih lanjut dan mengadili mereka yang terlibat dalam penculikan.
Pengadilan tidak pernah didirikan.
Subianto, 72, memenangkan pemilihan presiden pada 14 Februari tahun ini dengan dukungan Presiden petahana Joko Widodo. Ia menjabat sebagai Menteri Pertahanan di bawah pemerintahan Widodo.
Dia akan dilantik sebagai presiden pada Oktober mendatang.—ucanews.com
More Stories
Beberapa hari setelah penangkapan kritikus Widodo, rezim presiden Indonesia
Keluarga miliarder Indonesia dituduh mengendalikan kelompok 'perusahaan bayangan' terkait deforestasi besar-besaran
Indonesia juga harus memulangkan artefak budaya