Presiden memberi tahu para pemimpin provinsi dan kabupaten untuk memastikan kebebasan beragama yang sama untuk semua
Presiden Indonesia Joko Widodo berbicara dalam pertemuan dengan para pemimpin daerah pada 17 Januari. (Foto: Sekretariat Kabinet)
Presiden Jokowi Widodo telah mengatakan kepada para pemimpin provinsi dan kabupaten untuk memastikan kebebasan beragama yang sama untuk semua di Indonesia, di tengah kekhawatiran bahwa agama minoritas, termasuk Muslim, dapat diganggu di tempat-tempat ibadah.
Dalam rapat koordinasi dengan para kepala provinsi dan kabupaten di Sentul, Provinsi Jawa Barat pada 17 Januari, Widodo mengatakan pemerintah daerah harus “berhati-hati” untuk memastikan bahwa setiap orang percaya menikmati hak yang sama untuk beribadah.
“Umat Kristen, Katolik, Hindu, dan Konghucu … memiliki hak yang sama dalam hal kebebasan beragama dan beribadah,” katanya, mengacu pada empat agama yang diakui negara di negara mayoritas Muslim terbesar di dunia itu.
Ia mengatakan, konstitusi menjamin kebebasan beragama untuk semua, sehingga setiap kepala daerah harus memperhatikan hal ini.
Widodo juga menyoroti peran Forum Kerukunan Umat Beragama [FKUB] Setiap daerah kerap membuat kesepakatan yang inkonstitusional seperti “menyetujui tidak mengizinkan pembangunan tempat ibadah”.
“Jangan sampai yang namanya konstitusi dikalahkan oleh perjanjian. Konstitusi jangan sampai dikalahkan oleh perjanjian,” ujarnya.
“Terkadang saya berpikir betapa sulitnya bagi orang untuk beribadah. Sedih mendengarnya”
FKUB yang dibentuk oleh pemerintah daerah dan beranggotakan perwakilan semua agama ini sering dikritik oleh kelompok HAM yang dituding mengambil keputusan atau kebijakan yang mendamaikan umat Islam.
Widodo meminta Panglima TNI, Polri, dan Kejaksaan untuk fokus pada kebebasan beribadah dan mendesak para pemimpin daerah untuk tidak mengeluarkan peraturan yang inkonstitusional.
Dia bilang dia mengungkitnya karena “Saya melihat itu masih terjadi.”
“Terkadang saya berpikir betapa sulitnya bagi orang untuk beribadah. Sedih mendengarnya,” katanya.
Sejak 2017, umat Katolik dan Protestan sering menghadapi pelecehan dan pelecehan di tempat-tempat ibadah, menurut Setara Institute for Democracy and Peace, sebuah organisasi penelitian dan advokasi kebebasan beragama. Gereja menghadapi perlawanan terhadap konstruksi, pencurian, vandalisme, dan serangan termasuk pengeboman.
Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah kasus terus berfluktuasi dari 16 kasus pada 2017, 13 kasus pada 2018, 20 kasus pada 2019, dan 7 kasus pada 2020 menjadi 24 kasus pada 2021.
Saat Natal tahun lalu, warga dan pejabat melarang kebaktian Natal di rumah masing-masing di Gereja Protestan Batak Bethlehem di Batu Kede, Kabupaten Pokor, Provinsi Jawa Barat.
Dalam video yang beredar di media sosial, warga melarang jemaah beribadah di rumah karena dianggap bukan tempat ibadah.
Bupati Lebak di Provinsi Banten melarang umat Kristen merayakan Natal di daerah yang tidak memiliki gereja, menggunakan ruko dan beribadah di gereja-gereja terpencil.
Pendeta Baldi Panjaitan, presiden Komite Solidaritas untuk Korban Penganiayaan Agama, mengatakan kepada UCA News bahwa pernyataan presiden tersebut “tentu saja disambut baik karena sejauh ini dia diam atas pelanggaran yang berulang.”
“Setiap kali ada pelanggaran oleh aktor negara atau non-negara, harus diambil tindakan.”
“Namun harus ditindaklanjuti dengan pencabutan Permendag 2006 yang berperan melanggengkan pelanggaran hak kelompok minoritas,” ujarnya.
Dia mengatakan peraturan bersama yang membutuhkan persetujuan dari kelompok agama lain sebelum membangun rumah ibadah itu “tidak konstitusional.”
“Persetujuan kelembagaan tidak harus datang dari masyarakat, tapi dari negara,” kata pendeta Gereja Kristen Masyarakat Batak Philadelphia di Kabupaten Bekasi Jawa Barat itu. Gereja tidak dapat memperoleh izin bangunan sejak 2007 karena tentangan dari kelompok garis keras dan pemerintah setempat.
Dia mengatakan Presiden juga harus menuntut undang-undang yang lebih tegas terhadap mereka yang mengganggu kebebasan beragama.
“Setiap kali ada pelanggaran oleh aktor negara atau non-negara, harus diambil tindakan,” katanya.
Pastor Antonius Benny Susetio, pastor Katolik yang dikenal dengan karyanya tentang dialog antaragama dan kerukunan komunal, juga menyambut baik langkah presiden tersebut.
“Pemimpin daerah harus memenuhi amanat konstitusi untuk menjamin kebebasan beragama seperti yang ditegaskan Presiden. Mereka harus memberikan bimbingan dan pemahaman kepada komunitasnya sehingga tercipta rasa saling menghormati sesama umat beriman,” kata mantan sekretaris eksekutif Komisi Waligereja Indonesia itu kepada UCA News.
Imam mengatakan kepala daerah harus berperan dalam memulai diskusi dengan semua pendukung agama untuk menangani masalah seperti penolakan untuk membangun rumah ibadah atau mengizinkan mereka untuk melakukan kegiatan ibadah.
Dalam sebuah pernyataan, Halili Hassan, direktur penelitian di Setara Institute, mengatakan dia memuji presiden atas “salah satu pesan terkuat yang diungkapkan secara terbuka” karena itu adalah salah satu isu utama yang melanggar kebebasan, terutama pendirian tempat ibadah dan memuja. Agama/keyakinan di Indonesia tidak hanya tentang toleransi dan keragaman pada umumnya.
Hasan mengatakan, karena pemberian izin tempat suci dan tempat ibadah merupakan hal yang kompleks dan serius, masih harus dilihat apakah perintah itu diterapkan secara efektif.
Berita terbaru
More Stories
Beberapa hari setelah penangkapan kritikus Widodo, rezim presiden Indonesia
Keluarga miliarder Indonesia dituduh mengendalikan kelompok 'perusahaan bayangan' terkait deforestasi besar-besaran
Indonesia juga harus memulangkan artefak budaya