November 23, 2024

SUARAPALU.COM

Periksa halaman ini untuk berita utama terkini Indonesia, analisis, laporan khusus dari pusat kota besar termasuk Jakarta, Surabaya, Medan & Bekasi.

Tidak ada waktu seperti sekarang: transisi energi terbarukan Indonesia

Tidak ada waktu seperti sekarang: transisi energi terbarukan Indonesia

Cadangan minyak Indonesia semakin menipis 10 tahun, Asumsikan tidak ada cadangan baru yang ditemukan. Diperkirakan gas alam akan habis 77,3 triliun kaki kubik dalam waktu sekitar 22 tahun. Sementara itu, 37,6 triliun ton cadangan batu bara akan habis dalam 65 tahun jika dieksploitasi dengan laju yang sama seperti saat ini.

Dalam 10 tahun lagi, sulit membayangkan sepeda motor dan mobil berakhir di garasi atau di sungai Jakarta, Surabaya, Bandung, dan wilayah metropolitan Indonesia lainnya. Tentu saja, ini berarti bahan bakar tidak diimpor. Tapi Indonesia dipaksa untuk kembali ke impor energi seperti biasa, yang mengarah ke ‘geng minyak’ baru (Mafia minyak dan gas) Dan ketidakstabilan harga.

Untuk menghindari gejolak tersebut, diperlukan langkah dan pengaturan untuk segera melakukan pergeseran energi nasional. Kebutuhan untuk beralih ke model energi yang lebih bersih dan berkelanjutan tidak hanya disebabkan oleh penurunan cadangan dan dampak ekonomi yang merugikan, tetapi juga tingkat polusi yang disebabkan oleh berbagai jenis energi yang digunakan di Indonesia saat ini. Energi tersebut juga berkontribusi terhadap masalah perubahan iklim.

Kebutuhan akan perubahan energi segera tidak terbatas di Indonesia. Negara-negara lain di dunia juga berusaha mengembangkan strategi energi ramah lingkungan. Yang penting, Indonesia memang memiliki potensi energi alternatif yang sangat berkelanjutan dan melimpah. Sayangnya, tingkat penggunaannya masih sangat rendah. Padahal, Indonesia mengandung energi panas bumi, energi matahari, energi angin, arus laut, biofuel, nikel sebagai baterai atau biofuel, dan masih banyak bentuk energi lainnya. Dengan kata lain, Indonesia memiliki banyak sumber energi terbarukan.

Sebagai contoh, cadangan energi panas bumi Indonesia mencapai 400 gigawatt (GW), namun sejauh ini baru 2,5% yang dimanfaatkan. Dari sisi biofuel, minyak sawit di Indonesia kaya akan bahan baku. Namun saat ini, minyak sawit mentah (CPO) dimanfaatkan sebagai komoditas ekspor, yang dilepas dalam bentuk mentah ke pasar global. Sementara itu, Indonesia di sisi lain mengimpor BBM yang menyebabkan neraca transaksi berjalan nasional berfluktuasi setiap bulannya. Setiap kali rupiah jatuh, impor BBM selalu menjadi korban.

READ  Perdana Menteri WA Roger Cook mengeluarkan mineral-mineral penting dalam misi perdagangan 'bersejarah' selama seminggu ke Indonesia

Program wajib biodiesel akan sangat efektif bagi Indonesia. Di atas kertas, rencana tersebut akan mengurangi CO2 sebesar 9,88 juta kiloliter dan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 6,61 juta kiloliter. Selain itu, ITR yang harus dibayarkan kepada negara adalah pajak sebesar $2,43 triliun dan cadangan devisa sebesar $2,77 miliar.

Padahal, program wajib biodiesel bertujuan untuk meningkatkan penggunaan energi baru dan terbarukan. Penerapan wajib biodiesel membantu menciptakan lapangan kerja di sektor industri dan perkebunan kelapa sawit. Kebijakan ini otomatis akan meningkatkan permintaan CPO, membantu menstabilkan harga CPO dan tentunya membantu meningkatkan kesejahteraan petani sawit.

Untuk itu, masyarakat Indonesia sebagai pengguna BBM aktif dan pemborosan baterai ponsel kelas wahid, harus selalu mendorong pemerintah untuk mempersiapkan langkah-langkah konversi energi. Untungnya, pada peta Jalan Energi Terbarukan Pemerintah, kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan diharapkan meningkat dari 10.000 MW (MW) saat ini menjadi 32.000 MW pada tahun 2030 dan 52.300 MW pada tahun 2045.

Konsumsi bahan bakar nabati diproyeksikan meningkat dari sekitar 10 juta kiloliter (KL) tahun ini menjadi 20,8 juta KL pada tahun 2030, naik dari 43,2 juta KL pada tahun 2050. Mencapai. Mencapai tujuan yang luas ini akan membutuhkan investasi setidaknya $203 miliar. Investasi ini akan digunakan untuk sekaligus mencapai target pangsa energi terbarukan dalam bauran energi nasional yang meningkat dari 9% pada 2019 menjadi 23% pada 2025 dan 32% pada 2050.

Karena kebutuhan akan investasi besar, beberapa di antaranya membawa dividen ekonomi langsung dan tentu saja berisiko tinggi, terutama yang membutuhkan partisipasi pemerintah dalam pendanaan. Namun sayangnya, anggaran federal Indonesia rendah. Oleh karena itu, Bertamina dan PLN sebagai dua BUMN energi harus berperan sebagai pionir dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Jika mereka dapat maju dan terbukti berhasil dalam gerakan energi terbarukan, para pelaku sektor swasta pasti akan mengikutinya.

READ  Awan gelap terbentang seiring meningkatnya emisi Indonesia akibat permintaan pusat data di Asia dan dorongan lepas pantai Singapura

Selama ini, Bertamina sangat aktif mengembangkan beberapa proyek energi terbarukan. Perusahaan akan menghasilkan energi panas bumi hingga 1,3 gigawatt dalam 3-4 tahun ke depan. Bertamina juga akan membangun pembangkit listrik tenaga surya dan pembangkit listrik tenaga surya. Untuk biodiesel, Bertamina terus mendorong proyek pencampuran 50% minyak sawit menjadi bahan bakar minyak, yang disebut B50.

Perusahaan Dimethyl ether (DME) beroperasi pada program emisi gas batubara kalori rendah untuk menghasilkan energi bersih dan mengurangi impor liquefied petroleum gas (LPG). Berdasarkan rencana terbaru pemerintah, Bertamina sedang mempersiapkan untuk mendirikan pabrik baterai untuk kendaraan listrik dan mengembangkan infrastruktur pengisian baterai baru.

Untuk semua ini, Bertamina siap menghabiskan $ 15 miliar, berharap dapat menghasilkan pendapatan $ 8 miliar pada tahun 2026.

Berawal dari kesadaran akan pentingnya program energi bersih, masyarakat Indonesia harus terus mengingatkan pemerintah untuk terus memajukan dan melindungi Bertamina agar sejalan dengan langkah-langkah konversi energi ke depan. Tidak hanya untuk kepentingan bisnis, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat Indonesia dengan tersedianya energi alternatif dengan harga yang wajar.

Bagi pemerintah, tugas utama adalah menyempurnakan kerangka regulasi untuk mendukung percepatan transisi ke energi terbarukan. Kemudian, siapkan perusahaan khusus yang khusus menangani energi terbarukan. Mempertimbangkan perlunya pendanaan yang signifikan untuk investasi energi terbarukan dan menyiapkan sumber pendanaan alternatif agar tidak bergantung pada APBN.

Permasalahan saat ini adalah harga listrik energi terbarukan yang relatif mahal sehingga sulit bersaing dengan sumber pasokan listrik lainnya. Kesenjangan harga listrik inilah yang menarik negosiasi untuk Power Purchase Agreement (PPA).

Masalah lainnya adalah kebutuhan lahan. Misalnya, pembangkit listrik tenaga surya berkapasitas besar membutuhkan satu hektar lahan per megawatt. Cadangan panas bumi, di sisi lain, sering terletak di hutan lindung atau cagar alam, sehingga dilarang untuk dieksploitasi. Yang tidak terlalu rumit adalah kerumitan finansial dalam memberikan hasil yang relatif rendah dari energi terbarukan dan alternatif polusi.

READ  Indonesia terus mencari dukungan Jerman untuk pelatihan kejuruan

Tapi apapun jangka pendeknya bagi Indonesia, pemerintah harus berusaha mencari solusi. Indonesia perlu lebih aktif mempersiapkan diri untuk pengembangan program energi terbarukan. Tantangannya sebenarnya tidak mudah. Misalnya, masalah rantai pasok biodiesel, yakni terbatasnya armada kapal yang bisa mengangkut biodiesel. Tantangan lainnya termasuk memajukan teknologi, mengembangkan sumber daya manusia yang sangat terampil, dan mengganggu pasar global.

Namun demikian, di atas kertas, tujuan energi terbarukan adalah berkat lahan Indonesia yang luas, iklim yang mendukung, sumber energi terbarukan, tenaga kerja yang besar dan berpengalaman, dan banyak lagi di masa depan. Spesialis dan Teknologi Berkualitas. Namun dalam praktiknya, transisi Indonesia ke energi terbarukan mau tidak mau akan jauh lebih kaya daripada yang ada di lembar kerja pemerintah.

Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis saja dan tidak mencerminkan pandangan Geopolitik Monitor.com