- Presiden Indonesia meluncurkan kawasan konservasi baru kepada para pemimpin G20 sebagai contoh upaya negara untuk memerangi perubahan iklim.
- Negara ini bertujuan untuk menambah 33 lokasi lagi tahun depan dan memulihkan 600.000 hektar hutan bakau pada tahun 2024.
- Menurut kelompok lingkungan hidup terbesar di negara itu, hanya sepertiga hutan bakau negara itu dalam kondisi baik, dan kebijakan pembangunan yang bertentangan menghambat upaya konservasi di masa depan.
Pada KTT G20 baru-baru ini di Bali, Presiden Indonesia Joko Widodo membawa para pemimpin dunia ke Taman Hutan Raya Ngurah Rai, bekas peternakan ikan yang telah diubah.
Misinya adalah menampilkan aksi iklim yang dilakukan oleh Indonesia, rumah bagi hutan bakau terbesar di dunia.
“Saya mendesak anggota G20 untuk bergabung dalam kerja sama, untuk bekerja sama dalam aksi nyata untuk pembangunan hijau, pembangunan ekonomi hijau yang inklusif,” kata Widodo pada acara tersebut, seraya menambahkan bahwa Indonesia berencana untuk membangun hutan bakau serupa di 33 lokasi lagi pada tahun 2023.
Pemerintah Provinsi Bali telah membantu Jakarta menghidupkan kembali Taman Nukura Roy, yang dinamai dari nama pahlawan lokal Letnan Kolonel I Gusti Nukura Roy, yang terbunuh pada tahun 1946 pada usia 29 tahun melawan pemerintahan kolonial Belanda. Rehabilitasi dilakukan oleh Adi Karya. 506,9 miliar rupiah ($32,4 juta) agen kontrak.
Seperti banyak negara lainnya, Indonesia telah menetapkan target reboisasi yang ambisius untuk membantu memenuhi tujuan iklim, termasuk memulihkan 600.000 hektar (1,48 juta hektar) hutan bakau pada tahun 2024. Badan rehabilitasi mengatakan pada bulan Januari.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), kelompok advokasi lingkungan terbesar di Indonesia, mengatakan pemerintah harus yakin bisa memenuhi target tersebut.
Dengan 788.496 hektare lahan basah dalam kondisi baik, diperlukan percepatan lima kali lipat untuk mencapai target ambisius (2024),” kata Barid Ridwanuddin, presiden Kampanye Pesisir dan Laut Walhi, dalam sebuah pernyataan setelah KTT G20.
Lebih lanjut, Walhi mencontohkan beberapa persoalan yang memperburuk kondisi mangrove Indonesia.
Pertama, Walhi mencatat hingga tahun 2022 terdapat konsesi pertambangan komersial seluas 48.400 hektare (120.000 acre) hutan mangrove.
Kedua, upaya pemerintah untuk merehabilitasi mangrove bertabrakan dengan rencana pemerintah sendiri untuk melakukan program reklamasi lahan di banyak wilayah Indonesia. Walhi mencatat bahwa pada tahun 2022, proyek renovasi yang ada mencakup 79.300 hektar (196.000 acre) dan tambahan 2.600 hektar (6.400 acre) yang sedang dalam proses pengerjaan.
Angka tersebut tertuang dalam dokumen peraturan pemerintah daerah untuk zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di 22 provinsi negara itu. Hutan mangrove di berbagai wilayah pesisir Indonesia telah rusak akibat reklamasi ini.
Contohnya adalah reklamasi 85 hektar (210 hektar) Pantai Bali untuk fasilitas pelabuhan yang mencemari Teluk Benoa dan menghancurkan 17 hektar (42 hektar) hutan bakau.
Ketiga, dari 28 dokumen terkait, baru 10 provinsi yang menetapkan kawasan konservasi dan pengelolaan hutan mangrove seluas 26.900 hektar (66.470 acre).
Keempat, pemerintah Indonesia telah menetapkan target produksi ikan budidaya sebesar 22,6 juta ton pada tahun 2024. Dengan udang khususnya sebagai komoditas ekspor prioritas, pemerintah ingin meningkatkan hasil panen dari 1,2 juta ton pada tahun 2020 menjadi 1,5 juta ton pada tahun 2024.
Kelima, dalam UU Cipta Kerja tahun 2020 atau dikenal juga dengan Omnibus Act Pasal 5 mengatur sumber daya panas bumi, melegalkan penambangan panas bumi di daerah aliran sungai. Tindakan deregulasi ini akan merusak hutan mangrove.
Keenam, pembangunan infrastruktur yang masif seperti pelabuhan skala besar di Semarang dan Jakarta juga menyebabkan kerusakan dan hilangnya tutupan mangrove.
Berdasarkan data di Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2020, luas hutan mangrove Indonesia mencapai 2,5 juta hektar (6,2 juta acre). Barit menyebutkan hanya 788.496 hektare (1,95 juta acre) atau 31,34% yang dalam kondisi baik.
Pada saat yang sama, pemerintah harus berkomitmen untuk mengkaji sebaran deforestasi mangrove dan proyek-proyek di Indonesia, kata Parit.
Proyek tersebut meliputi reklamasi, infrastruktur, kawasan pesisir dan pertambangan di pulau-pulau kecil, lanjut pengacara lingkungan tersebut.
Selain itu, pemerintah perlu mengamandemen banyak undang-undang yang menghambat rehabilitasi mangrove. Dua undang-undang penting untuk ditinjau adalah Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara, yang keduanya melegalkan perusakan mangrove, kata Barid.
Walhi menilai degradasi mangrove diperparah oleh krisis lingkungan akibat semakin intensifnya dampak pilihan pembangunan dan krisis iklim.
Menurut Parit, pemerintah belum memberikan tugas penting kepada Badan Restorasi Mangrove dan Gambut (BRGM) untuk mengevaluasi konsesi atau izin usaha, khususnya di mangrove.
Sekretaris BRGM Ayu Devi Utari mengatakan dalam pidatonya baru-baru ini bahwa Indonesia dapat kehilangan 26.100 hektar (64.500 hektar) hutan bakau setiap tahun melalui konversi lahan karena pembangunan infrastruktur, budidaya perairan dan penebangan liar.
Tentu saja, kerusakan mangrove terutama disebabkan oleh kegiatan komersial tambak yang tidak ramah lingkungan, pemukiman, kebutuhan transportasi dan bisnis seperti pariwisata berbasis lingkungan, kata ahli biologi Korandalo State University Abu Bakar Siddiq Qadili kepada Mongabay.
Gambar Spanduk: Seorang pria berkano melewati hutan bakau di Papua, Indonesia. Foto oleh Mohamed Etliadi/CIFOR Flickr (CC BY-NC-ND 2.0)
Versi cerita ini dilaporkan dan pertama kali diterbitkan oleh tim Mongabay Indonesia Di Sini pada kita situs Indonesia November 21, 2022.
Bacaan terkait:
Upaya restorasi bakau di Indonesia sangat menjanjikan, tetapi banyak kendala
More Stories
Beberapa hari setelah penangkapan kritikus Widodo, rezim presiden Indonesia
Keluarga miliarder Indonesia dituduh mengendalikan kelompok 'perusahaan bayangan' terkait deforestasi besar-besaran
Indonesia juga harus memulangkan artefak budaya