Mengingat sektor perbankan Indonesia memiliki fundamental yang mampu menahan tingkat suku bunga yang tinggi, hal ini akan melindungi perbankan dari volatilitas yang terjadi di sektor lain.
Penutupan bank-bank AS yang memiliki portofolio obligasi besar, seperti Silicon Valley Bank (SVB) dan Signature Bank, merupakan dampak tak terduga dari kenaikan suku bunga di AS. Dalam kasus SVB, bank harus menjual portofolio obligasinya dengan harga diskon yang besar, sehingga menyebabkan peningkatan penarikan simpanan, menimbulkan kerugian, menguras modal bank dan akhirnya menyebabkan penutupan bank.
Seperti di AS dan negara lain, suku bunga di Indonesia meningkat, dan bank-bank terkemuka di Indonesia memiliki portofolio obligasi pemerintah yang besar. Apakah ini memprihatinkan?
Bank-bank di Indonesia secara tradisional menyimpan obligasi pemerintah sebagai aset. Selama pandemi COVID-19, pemerintah Indonesia meningkatkan penerbitan obligasi dalam jumlah besar untuk membiayai program vaksinasi dan stimulus ekonomi. Pada akhir permintaan tersebut, bank-bank di Indonesia dibebani dengan meningkatnya kredit bermasalah (NPL) dan harus merestrukturisasi sebagian besar kredit bermasalah mereka. Mereka meningkatkan aset mereka dengan obligasi pemerintah yang berisiko rendah. Obligasi saat ini berjumlah sekitar 14 persen Total Aset Bank (Gambar 1).
Bank Indonesia adalah bank sentral Indonesia Dinaikkan Mulai Agustus 2022, suku bunga repo 7 hari utama akan naik dari 3,5% menjadi 5,75% saat ini (Gambar 2 di bawah). Sasaran kebijakannya adalah mengendalikan inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah (saat artikel ini ditulis, nilai tukarnya adalah Rp15.296/US$1; sebagai perbandingan, tahun 2023 Anggaran Tetapkan nilai tukar rupee menjadi Rp14.800/US$1). Akibat kenaikan suku bunga, nilai surat berharga sektor perbankan yang tersedia untuk dijual (AFS), dalam pembukuannya, telah disesuaikan ke bawah. Tren ini tidak mengkhawatirkan kecuali terjadi krisis likuiditas parah yang memaksa bank menjual obligasi tersebut dengan kerugian yang signifikan.
Secara keseluruhan, bank-bank di Indonesia mempunyai eksposur yang relatif kecil terhadap sektor teknologi dan memiliki basis permodalan yang besar dengan likuiditas yang banyak.
Di Indonesia, terdapat likuiditas yang cukup besar di pasar karena pemulihan pascapandemi dan pertumbuhan pinjaman yang lebih lambat dari perkiraan. Sebagian besar bank mampu menahan obligasi pemerintah sampai suku bunga turun, sehingga harga obligasi dapat pulih. Rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR) sektor perbankan tetap berada di angka 80 persen pada paruh pertama tahun 2023.
Dalam kasus SVB Amerika, ada kekuatan lain yang bekerja sehingga menyebabkan penarikan simpanan secara besar-besaran, sehingga memaksa bank untuk melikuidasi portofolio obligasinya karena mengalami kerugian. SVB memiliki sebagian besar simpanan korporasi, yang simpanannya dalam jumlah besar seringkali melebihi porsi yang dijamin oleh pemerintah. Bank juga sebagian besar melayani sektor teknologi melalui PHK dan restrukturisasi. Hal ini pada akhirnya meningkatkan kekhawatiran para deposan dan menyebabkan perpindahan simpanan ke bank yang lebih aman. Layanan perbankan digital telah membuat penarikan dana menjadi lebih mudah dan cepat: cepatnya aliran dana awal, dan derasnya arus perbankan, mengejutkan banyak orang. Hal ini juga menimbulkan kekhawatiran mengenai kemampuan manajemen bank untuk bertindak cukup cepat dalam mengatasi arus keluar uang yang didorong secara digital di era digital ini.
Namun, berbeda dengan kasus SVB, risiko para deposan Indonesia melakukan bank run yang dapat menyebabkan krisis likuiditas jauh lebih rendah. Pertama, sebagian besar simpanan berasal dari deposan perorangan berukuran kecil, yang rata-rata simpanannya cukup kecil untuk dilindungi oleh skema penjaminan simpanan negara. Di Indonesia, jaminan ini mencakup hingga Rp2 miliar (sekitar US$130.000) per simpanan nasabah.
Perbedaan lainnya adalah tingkat kecukupan modal perbankan Indonesia yang lebih tinggi 25 persen, mencerminkan bantalan yang memadai untuk volatilitas pendapatan. Sebaliknya, tingkat kecukupan modal perbankan AS masih wajar 15 persen.
Karena perbedaan-perbedaan utama ini, kekhawatiran terhadap perbankan Indonesia telah mereda. Secara keseluruhan, bank-bank di Indonesia mempunyai eksposur yang relatif kecil terhadap sektor teknologi dan memiliki basis permodalan yang besar dengan likuiditas yang banyak. Dengan demikian, perbankan Indonesia tetap tangguh di tengah kenaikan suku bunga. Namun Bank Indonesia harus terus mencermati perkembangan perbankan digital agar ketahanan sektor perbankan tidak luntur.
2023/207
More Stories
Beberapa hari setelah penangkapan kritikus Widodo, rezim presiden Indonesia
Keluarga miliarder Indonesia dituduh mengendalikan kelompok 'perusahaan bayangan' terkait deforestasi besar-besaran
Indonesia juga harus memulangkan artefak budaya