Dua anggota parlemen Indonesia telah menyerukan pelarangan film AS yang menceritakan kisah Ibrahim, dan menuduh film tersebut berusaha mengaburkan sejarah Islam.
film, Putra satu-satunya, Tayang perdana di AS pada 31 Maret dan dirilis di Indonesia pada 30 Agustus.
Film ini terinspirasi oleh kisah alkitabiah tentang Abraham, yang dianggap sebagai bapak kepercayaan pada Yudaisme, Kristen, dan Islam.
Dua politisi Muslim menyerukan agar film tersebut dilarang karena dianggap menyesatkan umat Islam.
Jagoan Dubaz Hasan Cyatsili, anggota parlemen dan anggota Komisi Pengawasan Agama, mengatakan pada 12 September bahwa cerita film tersebut tidak se-update pemahaman umat Islam tentang sejarah Ibrahim.
Film ini mungkin menyesatkan umat Islam karena Islam percaya bahwa Nabi Ibrahim memiliki dua putra, Nabi Ismail dan Nabi Ishaq. Namun putra Ibrahim dan Sidi Hajar, Ismail, tidak dikenali dalam film tersebut, katanya dalam sebuah pernyataan.
Kalau film itu diputar untuk kalangan terbatas seperti penganut agama tertentu, kami tetap memaklumi. Namun Cyatsili mengatakan, jika film tersebut beredar luas, maka bisa menimbulkan kesalahpahaman terhadap sejarah Islam.
Politisi itu menyebut Ismail merupakan tokoh penting dalam Islam sebagai sosok yang menurunkan Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa ajaran Islam.
Ia mengatakan, jika pemahaman yang tergambar dalam gambar ini disebarluaskan, maka hal itu justru menghilangkan kaitan ajaran Islam dengan sejarah Nabi Ibrahim.
Ia meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika melarang film tersebut tayang di bioskop dan seluruh platform lainnya.
Saifullah Tamliha, Anggota DPR lain dari komisi yang sama, mengatakan larangan itu diperlukan untuk mencegah terjadinya kerusuhan yang melibatkan unsur ras, agama, dan etnis.
Ia mengatakan, film tersebut merupakan upaya mengaburkan sejarah Islam yang diceritakan dalam Alquran.
Ia menyamakan film tersebut dengan praktik pembakaran Alquran di negara-negara Eropa Barat.
Kelompok Katolik mengkritik seruan larangan tersebut.
Tuntutan tersebut menunjukkan keinginan untuk mendominasi ruang publik berdasarkan mayoritasisme, kata Francisca Chilolongan dari Catholic Youth, sebuah organisasi awam Katolik.
Ia mengatakan, umat Kristiani juga merupakan bagian dari bangsa ini dan berhak menikmati film sesuai keyakinannya di tempat umum.
Chilolongan mengatakan film tersebut akan diputar di bioskop dan masyarakat bebas menontonnya atau tidak.
Dia mengatakan pelarangan film tersebut akan merusak rasa kesetaraan dan keadilan di antara warga negara, yang dibutuhkan oleh negara demokratis.
Anthoni Renaldo Talunbun dari Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia mengatakan tidak pantas bagi anggota parlemen untuk menyerukan larangan tersebut karena hal itu seharusnya mencerminkan masyarakat Indonesia, termasuk keberagamannya.
Katolik dan Protestan adalah agama yang diakui secara hukum di Indonesia, dan umat Kristen juga berhak mengakses film-film yang berkaitan dengan keyakinan mereka, tegasnya.
Cinepolis, yang memutar film tersebut di Indonesia, mengatakan dalam tanggapan emailnya kepada UCA News pada tanggal 13 September bahwa tidak ada larangan hukum terhadap pemutaran film tersebut.
Dikatakan bahwa film hanya dapat diputar setelah memperoleh sertifikat izin dari sensor film dan kecuali sertifikat tersebut dibatalkan, tidak ada pelanggaran dalam pemutaran film tersebut.
More Stories
Beberapa hari setelah penangkapan kritikus Widodo, rezim presiden Indonesia
Keluarga miliarder Indonesia dituduh mengendalikan kelompok 'perusahaan bayangan' terkait deforestasi besar-besaran
Indonesia juga harus memulangkan artefak budaya