Polisi di Indonesia telah menangkap empat wanita karena melempar batu selama protes terhadap pabrik tembakau pada 26 Desember tahun lalu.
Nurul Hidaya, 38, Martini, 22, Fatima, 38, dan Hultia, 40, dari Wajakseng di Kabupaten Lombok Tenga, ditangkap pada 17 Februari dan dibawa ke penjara jaksa setempat bersama anak-anak mereka yang masih kecil.
Langkah tersebut telah menuai kecaman luas dari kelompok hak asasi manusia.
Jaksa Agung Otto Somboton mengatakan para tahanan tunduk pada hukum.
“Mereka melemparkan batu ke pabrik dan menyebabkan kerusakan parah pada atapnya, jadi mereka harus ditahan,” kata portal berita Somboton Indonesia, Compass.com.
Di bawah hukum Indonesia, mereka menghadapi hukuman maksimal tujuh tahun penjara, katanya.
Kerabat perempuan mengatakan hanya ada kekhawatiran luas di kalangan penduduk setempat tentang dugaan pencemaran oleh pabrik tembakau milik Mawar Putra.
“Anak-anak kami sering sesak napas dan mual karena baunya,” kata Antonio, suami seorang pengunjuk rasa bernama Martini. Pasangan itu, seperti kebanyakan orang Indonesia, memiliki nama yang sama.
Mereka mewakili lebih dari 1.000 orang lokal yang terkena dampak polusi dan terlantar selama 13 tahun.
Suhardi, pemilik pabrik, mengatakan para ibu rumah tangga “menyebabkan kerusakan parah dan mengintimidasi pekerja saya.”
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengatakan tidak perlu menahan empat wanita dengan anak-anak mereka.
“Mereka tidak boleh dikurung hanya karena alasan kemanusiaan,” kata komisaris hak asasi Becca Ulung Habsari kepada UCA News.
Peter Celestine, seorang pengacara HAM Katolik, mengatakan penegak hukum bekerja sangat keras.
“Itu menunjukkan bahwa pemilik pabrik dan penegak hukum adalah aib bagi rakyat biasa,” katanya kepada UCA News.
Dia mengatakan dia tidak tahu mengapa pengacara harus menahan mereka dan mengapa kasus itu tidak bisa diselesaikan di luar pengadilan.
“Undang-undang dirancang untuk menghadirkan keadilan bagi masyarakat, bukan untuk menindasnya,” ujarnya.
More Stories
Beberapa hari setelah penangkapan kritikus Widodo, rezim presiden Indonesia
Keluarga miliarder Indonesia dituduh mengendalikan kelompok 'perusahaan bayangan' terkait deforestasi besar-besaran
Indonesia juga harus memulangkan artefak budaya