- Sebuah kelompok perempuan di Kabupaten Sumeneb, Provinsi Jawa Timur, memprotes usulan pemerintah daerah untuk membangun ladang garam di lahan seluas 20 hektar (49 hektar) di pesisir desa Kersig Butih.
- Pada tahun 2009, pemerintah daerah memberikan hak atas tanah seluas 73 hektar (180 hektar) di sepanjang tepi dusun Dabagharpao di Gersik Puti, yang semuanya menjadi perkebunan garam.
- Nelayan mengatakan proyek ini dapat membahayakan pekerjaan mereka sebagai nelayan dan keberlanjutan lingkungan laut yang menjadi sandaran penghidupan mereka selama beberapa generasi, dan mereka yakin tambak garam telah memperburuk banjir dalam beberapa tahun terakhir.
- Protes di Sumenep adalah salah satu dari sekian banyak protes terhadap rencana pengembangan budidaya perairan pesisir di Indonesia, negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia.
SUMENEP, Indonesia – Nelayan perempuan di Pulau Mathura, Indonesia, memimpin perlawanan terhadap rencana mengubah sebagian pantai mereka menjadi pertanian garam dalam upaya melindungi ekosistem yang merupakan sumber pendapatan utama masyarakat.
Sebuah kelompok perempuan di Kabupaten Sumeneb, Provinsi Jawa Timur, memprotes usulan pemerintah daerah untuk membangun ladang garam di lahan seluas 20 hektar (49 hektar) di pesisir desa Kersig Butih. Mereka mengatakan proyek ini dapat berdampak pada pekerjaan mereka sebagai nelayan dan keberlanjutan ekosistem laut yang menjadi sandaran penghidupan mereka selama beberapa generasi. Nelayan percaya bahwa kolam garam telah memperburuk banjir dalam beberapa tahun terakhir.
“Bagi orang-orang seperti saya yang tidak memiliki lahan untuk bertani, saya bersyukur Tuhan memberi saya laut yang menjadi mata pencaharian saya,” kata Maimuna, salah satu pemimpin gerakan anti-nelayan perempuan. Pengembangan tambak garam di Kersig Puti, Mongabay-Indonesia mengatakan dalam wawancara baru-baru ini.
“Lautnya subur. Faktanya, hal ini nyatanya, kaya. Alhamdulillah selalu membuahkan hasil,” ujarnya.
Pada tahun 2009, pemerintah daerah memberikan hak atas tanah seluas 73 hektar (180 hektar) di sepanjang tepi dusun Dabagharpao di Gersik Puti, yang semuanya menjadi perkebunan garam. Meskipun sebagian besar wilayah tersebut telah dikembangkan, 20 hektar sisanya masih dalam sengketa karena nelayan perempuan Maimuna dan yang lainnya menentang proyek tersebut sejak tahun 2013. Beberapa upaya dilakukan untuk menengahi antara pengunjuk rasa dan pemerintah setempat, namun tidak berhasil.
“Bagaimana kamu bisa membuat gelar di laut?” ujar Maimuna. “Daerah itu sudah menjadi bagian laut sejak zaman kakek dan nenek kita bahkan sebelum itu. Bahkan saat itu jumlahnya sangat besar.
Para pengunjuk rasa menuntut pihak berwenang melepaskan izin proyek serta analisis dampak lingkungan dan sosial, namun pemerintah gagal melakukannya. Para penentang menyalahkan ladang garam sebagai penyebab hal ini Banjir parah di desa musim panas ini.
Kepala Desa Gersik Putih, Muhab, yang menjabat pada tahun 2013, mengatakan pemerintah akan memberikan kompensasi kepada nelayan dalam bentuk sebidang tanah seluas 2 hektar (4,9 hektar). Dia mengatakan oposisi sebagian didorong oleh kepentingan politik beberapa orang di desa tersebut.
Bukan laut, tapi ombaknya,” kata Muhab kepada Mongabay-Indonesia dalam wawancara terpisah.
Muhab mengatakan, rencananya pembiayaan tambak garam seluas 20 hektare itu akan dibagi antara pihaknya dan investor karena anggaran desa tidak bisa menutupi semuanya. Kantornya belum memutuskan siapa penerima manfaat yang akan diberikan, namun ia mengatakan bahwa penerima manfaat dapat berupa badan usaha milik desa, yayasan, atau badan usaha sosial. “Karena kita punya program untuk mendongkrak perekonomian masyarakat,” ujarnya.
Menyikapi banjir yang terjadi di Tapakerbau belakangan ini, Muhab mengatakan, wilayah tersebut biasa dilanda banjir pada pertengahan dan akhir tahun. Banjir dapat dikurangi dengan menyelesaikan ladang garam karena kolam tersebut berfungsi sebagai pembatas antara laut dan rumah.
“Itu masalah lama. Kalau rumah ditinggikan, [the flood] Seharusnya tidak ada kebocoran,” kata Muhab.
Ahmad Shidiq, Ketua Lingkungan Tabagarbau, mengatakan dia akan terus berjuang untuk melindungi pantai mereka. Shittiq mengatakan, dirinya memiliki aturan yang jelas bahwa laut tidak boleh diubah, bahkan sebidang tanah pun di sepanjang pantai tidak boleh diubah. Ia juga memiliki dokumentasi foto desa Tabagarpao tahun 1933 di halaman atas, yang dengan jelas memperlihatkan panjang pantai Tabagarpao.
Protes di Sumenep adalah salah satu dari sekian banyak protes terhadap rencana pengembangan budidaya perairan pesisir di Indonesia, negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Pada awal masa jabatan keduanya pada tahun 2019, Presiden Joko Widodo memerintahkan Kementerian Perikanan. Meningkatkan produksi perikanan budidaya dalam negeri.
Produksi akuakultur global tumbuh sebesar 527% dari tahun 1990-2018, dengan Indonesia menjadi salah satu produsen terbesar secara global. Produksi perikanan budidaya negara itu pada kuartal ketiga tahun 2021 adalah 12,25 juta metrik ton, naik 6% dari periode yang sama tahun 2020. Sektor perikanan budidaya menyumbang $1,94 juta pendapatan negara bukan pajak untuk tahun ini hingga November 2021. Kementerian mengatakan $1,39 juta lebih dari target.
Para ahli menyambut baik upaya pemerintah untuk meningkatkan sektor akuakultur, namun pemerintah harus menjamin perencanaan lingkungan yang berkelanjutan, khususnya dalam hal pembukaan lahan dan pengelolaan limbah untuk peternakan. Pengembangan budidaya perikanan di Indonesia biasanya melibatkan perusakan hutan bakau yang kaya karbon dan degradasi pesisir sehingga menciptakan laguna.
Kalisa Khalid, manajer keterlibatan publik dan operasi di LSM Greenpeace Indonesia, mengatakan pembangunan skala besar seringkali berpotensi menimbulkan banyak risiko lingkungan, ekonomi, sosial atau budaya. Investor akan menjadi pemilik sumber daya alam yang mereka kuasai, sementara sebagian besar masyarakat akan menjadi buruh, sehingga mereka tidak punya pilihan untuk mengakses sumber daya tersebut, katanya. Galisa menambahkan bahwa meskipun dunia usaha menggunakan slogan-slogan untuk “mempromosikan kesejahteraan masyarakat”, perempuan sering kali diabaikan dalam berbagai agenda pembangunan.
Berdasarkan perhitungan ekonomi saja, ia memperkirakan upah minimum di Sumenep adalah sekitar 2 juta rupiah ($130), dengan asumsi penduduk memperoleh 4,5 juta rupiah ($292) per bulan dari menangkap ikan makhluk laut dengan asumsi 150.000 rupiah ($9,75) per hari. Di pantai.
“Model ekonomi yang digunakan justru semakin memiskinkan perempuan. Jika mereka kesulitan mempertahankan ruang hidup, hanya dengan cara itulah perempuan bisa bertahan untuk menopang perekonomian keluarga,” kata Kalisa.
Kisah ini dilaporkan dan pertama kali diterbitkan oleh tim Mongabay di Indonesia Di Sini pada kita situs indonesia Pada tanggal 19 September 2023.
Lihat Terkait:
Nelayan skala kecil di kepulauan Indonesia menggunakan jaring yang dilarang oleh pihak luar
Masukan: Gunakan formulir ini Kirim pesan ke penulis postingan ini. Jika Anda ingin mengirimkan komentar publik, Anda dapat melakukannya di bagian bawah halaman.
More Stories
Beberapa hari setelah penangkapan kritikus Widodo, rezim presiden Indonesia
Keluarga miliarder Indonesia dituduh mengendalikan kelompok 'perusahaan bayangan' terkait deforestasi besar-besaran
Indonesia juga harus memulangkan artefak budaya