Mantan menteri pariwisata Indonesia berkumpul untuk membentuk Tourism Minister Club, yang diluncurkan akhir pekan lalu selama Indonesia Tourism Fair (WITF) 2024 yang spektakuler di Jakarta.
Klub ini menjadi wadah para mantan menteri untuk menyampaikan pemikiran dan gagasannya kepada para menteri masa depan demi pengembangan pariwisata Indonesia guna mencapai tujuan Indonesia Emas 2045, saat negara memperingati 100 tahun kemerdekaan.
Empat mantan menteri dan satu mantan wakil menteri berpartisipasi dalam dialog pertama klub yang diadakan selama Top Tourism Leaders Forum WITF 2024. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif saat ini, Sandiaga Uno, juga turut hadir.
Abdul Latif yang menjabat Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya pada tahun 1998 menegaskan bahwa Indonesia memerlukan rencana induk pariwisata yang jelas untuk menjadi pedoman bagi menteri-menteri masa depan dalam menetapkan kebijakan. Ia mencontohkan Bali dan mencatat pertumbuhan pariwisata di sana. Tidak jelas karena tidak ada rencana yang jelas untuk diikuti.
“Ke depan,” katanya, harus ada tujuan dan “rencana untuk mencapainya,” seraya menambahkan bahwa karena pariwisata “sangat padat karya,” pelatihan sumber daya manusia yang efektif sangat penting untuk memastikan karyawan siap bekerja. Layanan berkualitas.
Hal inilah yang melatarbelakangi Latif meminta rekan-rekan mantan menteri dan anggota Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) mengajukan usulan untuk diajukan kepada menteri baru di bawah pemerintahan Prabowo Subianto. Kantor pada 20 Oktober.
Sementara itu, Arief Yahya, Menteri Pariwisata periode 2014 hingga 2019, yakin bahwa menteri baru akan “berjuang keras untuk pariwisata” dan anggaran yang signifikan akan dialokasikan untuk sektor ini, terutama karena pariwisata adalah “inti perekonomian” negara. Ia berpendapat, agar Indonesia bisa menjadi pemain pariwisata global, negara harus beradaptasi dan beradaptasi dengan standar global.
Ia mencatat keberhasilan mengikuti Travel and Tourism Development Index (TTDI): “Indonesia berada di peringkat 70 (pada tahun 2014) dan setelah banyak upaya, kami berhasil memindahkan TTDI ke peringkat 22 dunia (dan) tahun ini. kedua di Asia Tenggara setelah Singapura).
Baik budaya maupun alam merupakan kekuatan Indonesia, oleh karena itu Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (2004-2011) Jero Wasik menekankan perlunya fokus mengembangkan tidak hanya budaya tradisional, tetapi juga budaya kontemporer, musik, film, dan film. Seni. Faktanya, pada masa Mari Pangestu menjabat Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (2011-2014) seni dan budaya tumbuh sebagai kontributor perekonomian Indonesia.
“Potensi sektor ekonomi kreatif sangat besar dan sinergi antara pariwisata dan ekonomi kreatif harus terus dipupuk dan dikembangkan,” kata Mari.
Namun, pariwisata bukan hanya soal ekonomi.
“Pariwisata dan budaya mencerminkan sebuah negara – pariwisata bukan hanya sebuah kisah ekonomi tetapi juga sebuah merek suatu bangsa,” katanya, seraya menambahkan bahwa pariwisata yang berkelanjutan dan berkualitas adalah jalan yang harus ditempuh.
“Wisata massal pun harus menjadi pariwisata yang berkualitas,” ujarnya.
Menekankan pentingnya “kecepatan” dalam pelayanan, Arief meminta pihak berwenang untuk menyederhanakan peraturan untuk mengubah kepentingan internasional menjadi bisnis. Ia juga menyarankan untuk melihat ke Vietnam dan apa yang telah dilakukan untuk “mengatur kebijakan mereka yang membawa mereka pada pertumbuhan pariwisata yang pesat”.
Arief mengingatkan pelaku industri akan pentingnya terus memanfaatkan teknologi digital: “Jika hotel, perusahaan perjalanan (dan destinasi) tidak memasukkan teknologi digital ke dalam bisnis Anda, percayalah, Anda akan hilang.”
Dengan berakhirnya masa jabatan menteri, Sandhyaka berharap penggantinya terus memajukan pariwisata Tanah Air dengan fokus pada kualitas dan keberlanjutan.
More Stories
Beberapa hari setelah penangkapan kritikus Widodo, rezim presiden Indonesia
Keluarga miliarder Indonesia dituduh mengendalikan kelompok 'perusahaan bayangan' terkait deforestasi besar-besaran
Indonesia juga harus memulangkan artefak budaya