Komisi hak asasi manusia Indonesia mengatakan pada hari Rabu bahwa pihaknya akan membentuk sebuah panel untuk menyelidiki keracunan fatal seorang aktivis hak asasi manusia terkemuka dalam penerbangan internasional 18 tahun lalu, upaya lain untuk memecahkan kasus pembunuhan yang bermuatan politik.
Munir Said Talib meninggal karena keracunan arsenik pada September 2004 dalam usia 38 tahun, dalam perjalanan dari Jakarta ke Belanda dengan penerbangan Garuda Indonesia.
“Kami telah membentuk panitia ad hoc [to investigate] Munir Saeed Talib dibunuh dengan menunjuk dua komisioner untuk mewakili Komnas HAM,” kata Ahmad Taufan Damanik, Ketua Komnas HAM. pembunuhan
Pengadilan memutuskan seorang pilot Garuda Airways yang sedang tidak bertugas bersalah karena meracuni minuman Munir, yang menurut para aktivis ditunjuk oleh pejabat tinggi intelijen Indonesia.
Juga, sebuah laporan tahun 2005 yang diserahkan kepada presiden saat itu tidak pernah dirilis ke publik, tetapi para aktivis HAM mengatakan bahwa laporan itu melibatkan perwira senior intelijen Indonesia dalam pembunuhan Munir.
Tim Komnas HAM akan menyertakan Usman Hamid, direktur Amnesty International di Indonesia, dan dua orang lainnya, yang belum disebutkan namanya karena tidak setuju untuk bergabung, kata Taufan.
Setiap temuan akan dipresentasikan dalam rapat paripurna Komnas HAM, katanya.
“Kita belum tahu kapan pengerjaannya selesai,” kata Taufan.
Komisi tersebut dikatakan sebagai badan independen. Anggotanya dipilih oleh Parlemen dan setelah dicalonkan oleh sebuah komite, anggotanya diangkat oleh Presiden.
Pada 7 September 2004, Garuda meninggal dunia dalam penerbangan menuju Amsterdam, tempat Munir akan memulai studi pascasarjana. Otopsi oleh otoritas Belanda menyimpulkan bahwa dia telah menelan arsenik dalam jumlah yang berbahaya.
Setelah menjabat pada Oktober tahun itu, Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan penyelidikan independen dan membentuk panel pencari fakta aktivis hak asasi manusia.
Muchi Purvobrandjono, mantan perwira senior Badan Intelijen Nasional, diadili pada tahun 2008 atas tuduhan memerintahkan pembunuhan, tetapi dibebaskan setelah hakim mengatakan dia tidak memiliki motif.
Pada September 2016, Presiden Joko Widodo berjanji akan menuntaskan kasus Munir.
Sebulan kemudian, Komisi Informasi Publik memutuskan bahwa laporan 2005 harus dipublikasikan atas permintaan janda Munir, tetapi Pengadilan Tata Usaha Negara membatalkan keputusan komisi dengan alasan bahwa pemerintahan Jokowi belum menerima laporan dari pemerintah sebelumnya. Tidak ada dokumen.
Pada tahun yang sama, mantan menteri luar negeri Yudhoyono, Sudi Silalahi, mengaku memiliki salinan dokumen presiden sebelumnya, tetapi merekomendasikan pembentukan komite investigasi baru dengan mandat yang kuat untuk menindaklanjuti temuan tersebut.
‘Kami akan terus menuntut keadilan’
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mohamed Mahfud MD mengatakan, pemerintah Jokowi tidak menentang langkah Komnas HAM membentuk komisi investigasi.
“Oke, silakan kalau Komnas HAM mau,” katanya kepada Benarnews. Dia menolak berkomentar lebih jauh.
Anggota DPR Oposisi Naseer Tjamil berharap panitia bisa mengusut tuntas kasus ini.
“Saya yakin tim tidak harus bekerja dari awal karena temuannya sudah ada,” kata Naseer kepada BeritaBenar.
Rivanlee Anandar, wakil presiden kelompok hak asasi manusia KontraS, berharap penyelidikan itu mengarah ke penuntutan.
“Kami mendesak pemerintah mendukung dibukanya kembali kasus Muneer,” kata Rivanlee kepada Benarnews.
Janda Muneer, Susivathy, menilai pembentukan tim tersebut dianggap sebagai upaya untuk melakukan sesuatu di saat masa jabatan anggota dewan saat ini akan segera berakhir.
“Kalau menurut mereka ini pelanggaran HAM, seharusnya dibentuk panitia ad hoc dari awal. [of this commission’s term]Tapi ini akhir masa jabatan mereka,” kata Suchivathy kepada Benarnews.
“Kami akan menuntut keadilan tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan.”
Nasruddin Latif berkontribusi pada laporan ini di Jakarta.
More Stories
Beberapa hari setelah penangkapan kritikus Widodo, rezim presiden Indonesia
Keluarga miliarder Indonesia dituduh mengendalikan kelompok 'perusahaan bayangan' terkait deforestasi besar-besaran
Indonesia juga harus memulangkan artefak budaya