Namun Tiongkok bukan satu-satunya penyandang dana proyek tersebut. Pendanaan kereta cepat Jakarta-Bandung awalnya diperebutkan antara China dan Jepang. Setelah Jepang berhasil mengatasi tantangan kepadatan penduduk Jakarta dengan membangun Sistem Mass Rail Transit Jakarta pada tahun 2000an, sebuah peluang untuk meningkatkan konektivitas antar kota diusulkan dalam bentuk kereta api kecepatan tinggi Bandung-Jakarta.
Pada tahun 2015, Tiongkok dan Jepang mengajukan penawaran. Meskipun terdapat keuntungan tambahan dalam penawaran Tiongkok, seperti tawaran transfer teknologi, alasan utama Jepang kalah dalam penawaran tersebut adalah desakan Indonesia untuk memberikan jaminan atas utang pemerintah. Hal ini menyoroti bagaimana Indonesia berusaha mempertahankan kedaulatannya.
Ketika Indonesia menolak tawaran Jepang karena alasan tersebut, Indonesia pun menegaskan klaim Tiongkok terhadap dirinya sendiri. Namun, Beijing bersikap keras ketika diminta oleh Jakarta untuk membayar lebih banyak anggaran, sehingga memberikan tekanan pada hubungan ekonomi Indonesia-Tiongkok yang pernah kuat.
Proyek infrastruktur besar seperti Nusantara – rencana ambisius Presiden Indonesia Joko Widodo untuk memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur – pada awalnya menarik minat finansial Tiongkok dari perusahaan seperti Alibaba Cloud, namun akhirnya gagal.
Badan ini hadir di negara-negara Asia Tenggara
Namun apa yang diilustrasikan oleh proyek kereta api berkecepatan tinggi adalah niat Indonesia untuk mempertahankan kewenangannya dalam mengambil inisiatif tersebut, sebagaimana terlihat dalam keputusannya untuk menutupi kelebihan biaya dari anggarannya sendiri. Meskipun Tiongkok menjanjikan investasi infrastruktur yang besar di Asia Tenggara, terdapat tren peningkatan negara-negara yang akan melakukan hal yang sama.
Jalur Kereta Api Pantai Timur Malaysia, yang dibiayai oleh Bank Ekspor-Impor Tiongkok, juga menghadapi masalah serupa. Proyek tersebut, yang terhenti sebesar US$16 miliar sejak tahun 2016, direvisi menjadi US$11 miliar oleh Perdana Menteri Mahathir Mohamad pada tahun 2019 dan menjadikan investasi tersebut sebagai kesepakatan yang lebih adil antara Malaysia dan Tiongkok dengan kesepakatan yang menguntungkan bagi pekerja Malaysia.
More Stories
Beberapa hari setelah penangkapan kritikus Widodo, rezim presiden Indonesia
Keluarga miliarder Indonesia dituduh mengendalikan kelompok 'perusahaan bayangan' terkait deforestasi besar-besaran
Indonesia juga harus memulangkan artefak budaya