Para pemimpin Indonesia telah berjanji untuk menghindari politisasi agama pada pemilu bulan Februari 2024 mendatang, namun insentif politik dan kekuatan sosial terus mendorong politik identitas, terutama di kalangan generasi muda. Masih banyak yang harus dilakukan untuk mencegah politisasi agama dan mendidik generasi muda tentang dampak buruknya.
Politisasi identitas agama akan menjadi tantangan besar bagi Indonesia pada pemilu presiden Februari 2024 mendatang. Beberapa tokoh politik nasional pun berkomentar Tekad mereka untuk menghindari politisasi agama. Namun karena agama sudah tertanam dalam sikap dan perilaku pemilih, termasuk pemilih muda (di bawah 40 tahun) 60 Sebagai persentase dari pemilih, politisi kemungkinan besar tidak akan sepenuhnya mengabaikan penggunaannya.
Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan masyarakat Indonesia sudah terlanjur menderita akibat politisasi agama yang berkepanjangan. Ia mengimbau semua pihak menjauhi politik identitas pada pemilu mendatang. Pesan Presiden Jokowi ditanggapi sejumlah pimpinan parpol Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pun sepakat untuk menjauhinya pada pemilu 2024.
Juga Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan tokoh agama terkemuka Anggota berbagai organisasi keagamaan di Indonesia menyatakan komitmennya untuk tujuan yang sama. Mereka menilai politisasi agama hanya akan berujung pada disintegrasi bangsa.
Namun, Indonesia memerlukan lebih dari sekedar jaminan lisan dari tokoh-tokoh nasional untuk mengekang politisasi agama. Pertama, dalam pemilu yang sangat kompetitif, politisi mungkin terpaksa menggunakan strategi apa pun untuk meningkatkan peluang kemenangan mereka. Termasuk menggunakan narasi keagamaan yang eksklusif sebagai jalan pintas untuk mendapatkan suara di tingkat kabupaten. Menyederhanakan atau mendikotomikan pesan-pesan politik menjadi ya dan tidak, halal atau haram, atau Islam dan non-Islam berguna dalam metode ini. Misalnya, Partai Ummat Ia terang-terangan menyatakan akan tetap menggunakan politik identitas pada pemilu 2024 dan berpendapat bahwa politik tidak bisa lepas dari agama, khususnya Islam.
Kedua, aktor sosial bisa mempolitisasi agama. Dalam masyarakat yang terpolarisasi berdasarkan agama, politisi dapat memobilisasi platform mereka untuk menanggapi pesan-pesan keagamaan yang viral. Contohnya adalah kasus mantan jurnalis Puni Yani. Pada tahun 2016, ia mengunggah cuplikan video pernyataan gubernur dan calon gubernur Jakarta saat ini, Ahok, ke akun media sosialnya dengan tulisan “penodaan agama”. Hal ini menimbulkan kegaduhan besar di masyarakat yang akhirnya berujung pada pemenjaraan Ahok. Penggunaan label untuk menggambarkan politisi belum berhenti. Misalnya, di media sosial, politisi yang mempromosikan ideologi sekuler dan nasionalis sering direndahkan sebagai “berudu” (sebang), dan kelompok Islamis sebagai “kelelawar” (combret) atau “kadal gurun” (qatrun). Netizen menjadi lebih emosional dan reaksioner dalam pilihan politiknya ketika sentimen agama disuntikkan.
Meskipun terdapat upaya yang dilakukan oleh para pemimpin nasional dan masyarakat sipil untuk mendorong dialog antaragama, menegaskan kembali Islam moderat dan pluralisme agama, serta menjunjung panchaseelam, tingkat intoleransi beragama di kalangan generasi muda masih tetap tinggi.
Siapapun yang tertarik dengan kematangan demokrasi di Indonesia harus memperhatikan kampanye politik atau materi yang digunakan politisi untuk mempengaruhi generasi muda. Para politisi tahu bahwa pemilih muda mempunyai potensi yang sangat besar karena jumlah mereka yang besar. Tidak mengherankan, banyak politisi mulai mengembangkan strategi untuk menjangkau generasi muda.
Penelitian mengenai hubungan antara agama, ideologi, dan partisipasi politik di kalangan pemuda Indonesia mengungkapkan beberapa pola yang meresahkan. Pada tahun 2021, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta melakukan survei nasional terhadap generasi muda yang banyak di antaranya mungkin menjadi pemilih pada pemilu 2024. Hampir sepertiga (30,2 persen) responden survei mendukung toleransi beragama – yang didefinisikan sebagai keengganan seseorang untuk menerima hak-hak sipil individu atau kelompok agama lain yang tidak mereka sukai atau tidak setujui. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat upaya yang dilakukan oleh para pemimpin nasional dan masyarakat sipil untuk mendorong dialog antaragama dan menegaskan kembali Islam moderat dan keberagaman agama, tingkat intoleransi beragama di kalangan generasi muda masih tetap tinggi. Panchasheela.
Analisis lebih lanjut terhadap data survei yang sama menunjukkan bahwa pemuda Muslim lebih konservatif dalam hal afiliasi keagamaan dibandingkan pemuda yang menganut agama lain. Skor positif pada Gambar 1 menunjukkan bahwa generasi muda Indonesia mendukung penerapan undang-undang berbasis agama dan keterlibatan para pemimpin agama – ulama, dalam kasus Muslim – dalam politik.
Gambar 1. Di kalangan generasi muda Indonesia, umat Islam lebih konservatif dan lebih menyukai integrasi agama ke dalam negara dan politik.
Kaum muda yang mendukung integrasi agama, yang disebut integrasi dalam laporan survei, berpartisipasi lebih aktif dalam politik, memberikan suara dalam pemilu dan menandatangani petisi secara informal, dan mendukung partai politik dalam hal waktu, tenaga dan uang. atau berpartisipasi dalam demonstrasi. Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa agama telah menjadi platform ideologis bagi generasi muda untuk bertindak secara politik dalam berbagai cara.
Gambar 2. Integrator lebih aktif secara politik di kalangan pemuda Indonesia
Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) dan lembaga pengawas pemilu lainnya perlu memberikan perhatian lebih terhadap bahaya dan dampak politisasi agama. Lembaga-lembaga publik ini harus melakukan intervensi untuk mencegah meluasnya politisasi agama, mengurangi dampak negatifnya terhadap kualitas demokrasi, dan mencegahnya memicu konflik. Bawazlu memainkan peran penting dalam memberikan sinyal kepada generasi muda bahwa mereka harus memilih kandidat berdasarkan kepemimpinan dan prinsip, bukan berdasarkan identitas.
Sebagai upaya preventif, Bawazlu harus melibatkan pimpinan dari berbagai organisasi keagamaan untuk melibatkan dan mengedukasi masyarakat mengenai dampak buruk politisasi agama. Bawazlu dapat berkolaborasi dengan para pemimpin muda agama yang dapat menjangkau generasi muda secara efektif, dan mengorganisir kampanye di sekolah, universitas, organisasi pemuda, organisasi keagamaan, dan media sosial untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya membiarkan kampanye pemilu mempolitisasi agama. Ini adalah langkah-langkah kecil namun penting untuk mengubah budaya politik yang tertanam kuat dan didorong oleh identitas.
2023/205
More Stories
Beberapa hari setelah penangkapan kritikus Widodo, rezim presiden Indonesia
Keluarga miliarder Indonesia dituduh mengendalikan kelompok 'perusahaan bayangan' terkait deforestasi besar-besaran
Indonesia juga harus memulangkan artefak budaya